Senin, 02 Januari 2012

Review jurnal POLA RESTRUKTURISASI USAHA PERTANIAN DAN USAHA KECIL PEDESAAN SERTA IMPLEMENTASINYA TERHADAP REPOSISI KELEMBAGAAN KOPERASI


Sumber : www.smecda.com
Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10

I. ABSTRAKSI
Selama Pembangunan Jangka Panjang ke 1 (PJP-1) Indonesia telah mencatat
berbagai kemajuan ekonomi, hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator antara lain : (a)
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% mulai tahun 1970 samapi tahun 1997, (b) jumlah
penduduk miskin secara relatif dan absolut berkurang, (c) penurunan riil pertumbuhan
penduduk dari 2,4% hingga 1,9%, (d) perbaikan infrastruktur jalan, kesehatan dan
telekomunikasi. Kemajuan ekonomi di Indonesia sekarang dapat dikatakan telah
mengalami perbaikan yang cukup berarti, namun demikian masih banyak menghadapi
berbagai masalah yang harus diselesaikan dalam pembangunan tahap ke II abad ke
21, karena ternyata keberhasilan tersebut belum mampu mengangkat kehidupan
ekonomi rakyat di pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian.
Padahal Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki kondisi dimana : (a)
sektor pertanian memegang peranan strategis sebagai sumber mata pencaharian bagi
penduduk yang tersebar, (b) memproduksi komoditi primer baik untuk konsumsi maupun
industri pengolahan, (c) tempat pelemparan hasil industri dan (d) pertanian masih merupakan kantong penduduk miskin.


II. PEMBAHASAN
Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan sektor pertanian adalah belum tersedianya konsep dan strategi pembangunan pertanian yang jelas, dikaitkan dengan peranan kelembagaan koperasi yang mampu mengangkat tingkat pendapatan koperasi dan masyarakat pedesaan.
Guna memecahkan masalah diatas khususnya untuk mengatasi kemiskinan,
penganguran, ketertinggalan, peningkatan produktivitas ekonomi pedesaan dalam waktu
26 tahun terakhir (1969-2003) pemerintah Indonesia melakukan berbagai kebijakan antara
lain : (a) melipatgandakan produksi pangan terutama beras melalui introduksi teknologi
baru (bibit unggul dan pupuk), (b) mendorong koperasi pedesaan untuk penyalur input
dan pemasaran hasil pertanian, (c) program pembangunan desa miskin melalui Inpres
Desa Tertinggal (IDT), (d) perkembangan perkebunan inti rakyat diberbagai komoditi
pertanian dan (e) berbagai program lain yang penting perlu dicatat yaitu Green Revolution
(instensifikasi tanaman padi). Namun berbagai terobosan program baru tersebut belum
dapat menyelesaikan permasalahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara baik.
Dalam mengantisipasi kondisi sebagaimana disebutkan diatas, kelembagaan
koperasi perlu direposisi agar koperasi di pedesaan dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi. Reposisi ini dimaksudkan supaya koperasi di pedesaan
memiliki kompetensi untuk mengelola usaha pertanian yaitu kegiatan agribisnis dan
agroindustri, meliputi kegiatan : (1) up-stream (hulu) yaitu penyaluran kredit dan sarana
produksi, (2) on-farm yaitu produksi yang dilakukan oleh anggota, serta (3) off-farm
(hilir) yaitu pengolahan dari yang sederhana sampai agroindustri dan pemasaran.
Aspek studi dalam penelitian ini meliputi :(1)Melakukan studi dan evaluasi kondisi
riil saat ini terhadap koperasi dibidang pertanian dan usaha kecil pedesaan.
(2) Mengklasifikasi tipe koperasi dibidang pertanian dan faktor-faktor penghambat.
(3) Menyusun desain pengembangan koperasi dibidang pertanian dan usaha kecil
pedesaan. (4) Menyusun draft election pengembangan koerasi dibidang pertanian.
Pokok masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1)
bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan
akibat restrukturisasi usaha pertanian, (2) bagaimana partisipasi anggota koperasi dalam
reposisi peran koperasi. (3) bagaimana model pembinaan dan pengembangan manajemen
koperasi bidang pertanian.

Sejak pemerintahan orde baru kegiatan pertanian diarahkan kepada bagaimana
pencapaian produksi atau lebih kepada pengembangan subsistem usaha pertanian.
Pada kegiatan on-farm yang didukung dengan kebijakan untuk peningkatan produksi
melalui program intensifikasi pertanian. Hal ini terkait dengan program pemerintah
melalui pengadaan pengairan, sarana produksi, benih unggul, pestisida serta pembukaan
lahan-lahan pertanian terutama di luar Jawa seperti proyek gambut sejuta hektar di
Kalimantan. Program tersebut bermuara pada pengadaan pangan nasional. Namun
disadari bahwa program tersebut belum memberi kepada peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani (Soetrisno, 2003).
Penjabaran UU Nomor 12 Tahun 1967 khususnya menyangkut pembangunan
pedesaan dinyatakan dalam kebijaksanaan pemerintah melalui Intruksi Presiden Nomor
4 Tahun 1973 tentang pengaturan dan pembinaan Badan Usaha Unit Desa (BUUD).
Kelembagaan suatu organisasi ekonomi perlu mendapat perhatian lebih besar.
Berkaitan dengan pandangan kelembagaan atas struktur hak kepemilikan dan
perkembangan kegiatan koperasi. Cook (1995) menyatakan bahwa koperasi akan
berkembang secara bertahap, dimana tantangan yang dihadapi pada setiap tahap adalah
hasil dari perubahan struktur hak yang dialami pada tahap sebelumnya.
Cook (1995) mendasari hipotesa yang diajukannya mengenai perkembangan
koperasi pada hasil penelitiannya dan hasil penelitian lain seerta data perkembangan
koperasi pertanian dan pedesaan di Amerika dan Kanada dari tahun 1951-1961. Selama
periode tersebut terdapat koperasi yang berhenti berusaha, ada koperasi yang tetap
dan bertahan dan ada koperasi-koperasi baru yang tumbuh. Dalam rentang 40 tahun
yang diamati beberapa koperasi lahir, tumbuh dan berkembang serta beberapa koperasi
tutup. Kesimpulan dari pengamatan Cook adalah koperasi menujukkan perkembangan
jika dilihat dari pertumbuhan nilai usaha dan perkembangan tersebut tidak berhubungan
dengan waktu.
2.2. Hasil Penelitian yang Relevan
Hipotesa Cook menyimpulkan bahwa perkembangan koperasi, khususnya
koperasi pertanian mengikuti empat tahap, dimana dua tahap adalah tahap
.keseimbangan. dan dua tahap lainnya adalah tahap ketidakseimbangan. Koperasi
pertanian di Amerika umumnya dikembangkan atas dua pertimbangan pokok yaitu
pertama, untuk mengatur mengendalikan produksi dan pasokan diantara para produsen
sehingga para produsen tidak saling bersaing. Kedua, untuk menghimpun para produsen
(petani) guna menghadapi pasar yang tidak sempurna dalam monopoli atau oligopoli
pada pasar sarana produksi dan monopsoni atau oligopsoni pada pasar produk. Kedua
alasan tersebut pada dasarnya adalah usaha petani produsen atas inisiatif sendiri untuk
bersama-sama berusaha bertahan menghadapi kesulitan usaha yang dihadapi, sehingga
pada kondisi ini koperasi berada pada .tahap defensif.. Hasil yang diharapkan dari
koperasi pada tahap ini adalah peningkatan kekuatan rebut tawar petani (anggota)
yang diwujudkan dalam bentuk tindakan dan perilaku usaha koperasi.
2.3. Terminologi dan Definisi Operasional
Reposisi adalah upaya merubah posisi KUD yang hampir stagnan menuju posisi
baru yang lebih variabel serta sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perlunya
reposisi pengembangan kelembagaan koperasi pedesaan disebabkan karena terjadinya
perubahan pemerintahan dan kebijakan dibidang ekonomi yang mengakibatkan KUD
yang dikenal sebagai instrumen pemerintah mengalami kesulitan dan kehilangan arah.
Reposisi dimaksudkan agar KUD dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan.

III. KESIMPULAN

Peran koperasi di sektor off-farm (industri pengolahan) pada usaha pertanian
masih tergolong sangat rendah bila dilihat dari status badan hukum sebagai industri
pengolahan berbasis sektor pertanian kurang dari 1 % jumlah koperasi yang usahanya
bergerak dalam industri pengolahan pertanian, kecuali di sub sektor peternakan lebih
dari 3%.
Pada usaha pertanian di sektor hilir (off-farm), sebagian besar industri termasuk
di dalamnya usaha koperasi yang bergerak di industri pengolahan mengalami persaingan
pasar oligopoli yang sangat ketat, seperti pada industri penggilingan dan penyosohan
beras dengan rasio konsentrasi sebanyak delapan perusahan terbesar (CR 8) hanya
sebesar 25,72% pada tahun 2002. Hal ini memerlukan kebijakan pemerintah sehingga
diharapkan koperasi dapat melakukan monopoli pada industri pengolahan seperti pada
pembelian cengkeh di zaman orde baru. Disamping itu skala output koperasi sebagian
besar hanya berada di bawah Rp. 1 milyar, sehingga suntikan modal bagi koperasi
sangat diperlukan baik dari lembaga keuangan perbankan maupun dari pemerintah.
Distribusi pengolahan diatas 80% masih terkonsentrasi di daerah Jawa (DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah) dan Sumatera utara. Ini memberikan gambaran,
bahwa dalam pembangunan industri pertanian antara lokasi industri dengan sumber
bahan baku tidak satu tempat, sehingga akan menimbulkan biaya transportasi yang
cukup besar. Jumlah bahan baku yang dibutuhkan industri pengolahan sebagian masih
diimpor, seperti pada industri pakan ternak, industri penggilingan, dan pembersihan
padi-padian bahan bakunya di atas 40% masih diimpor.
Untuk menunjang peningkatan usaha pertanian menjadi industri pertanian perlu
dilakukan membinan sumberdaya manusia dan memantapkan struktur kelembagaan
koperasi sebagai upaya mendukung pengembangan usaha anggota koperasi yang
berbasis pada pertanian.
Model kelembagaan agribisnis yang dapat dikembangkan di masa depan antara
lain dengan memasukkan unsur petani menjadi salah satu faktor dari supply chain
manajemen, dimana petani posisikan sebagai subyek pengambil keputusan bukan
hanya pelaksana.
Model koperasi tunggal komoditi dapat dikembangkan untuk sub sektor
perkebunan untuk komoditi : karet, kelapa sawit dan kelapa hibrida, sub sektor pertanian
tanaman pangan : cabai, tomat, bawang daun, dll, sub sektor perikanan dan subsektor
peternakan. Koperasi persusuan merupakan salah satu kopersi yang mampu
berkembang dengan baik.
Koperasi kredit pertanian diperlukan oleh petani untuk membiayai usaha taninya.
Kopdit pertanian merupakan basis dari pemberdayaan petani dan menjadi landasan
bagi pengembangan kegiatan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
......., 2001. Statistik Perusahaan Perikanan 2001. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
......., 2002. Indikator Pertanian (agricultural Indicators) 2002. Badan
Pusat Statistik. Jakarta.
......, 2003. Sensus Pertanian 2003. Angka Nasional Hasil Pendaftaran
Runah Tangga (angka sementara). Badan Statistik. Jakarta.
Cook, Michael. 1995. The Future of U.S Agricultural Cooperative: A Neo
Institutional Approach. American Journal of Agricultural Economics. Desember
1995.
Nasution, M., 2003. Pertanian Sebagai Platform Pembangunan Indonesia Masa
Depan. Makalah Kongres Masyarakat Pertanian Indonesia. BEM IPB. Bogor ,
16 September 2003.
PERHEPI. 2004. Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian :
Beberapa Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan. Perhepi Cetakan
I. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Koperasi Indonesia : Potret dan Tantangan, Jurnal Ekonomi
Kerakyatan, Th. II-No.5-Agustus 2003. Jakarta.
Sularso. 2004. Koperasi Pertanian. Makalah Diskusi Terbatas PERHEPI :
Kelembagaan dan Koperasi dalam Restrukturisasi Pertanian Perdesaan. STEKPI,
30 September 2004.

koperasi karyawan PT.Pelni Bina Sejahtera


koperasi karyawan PT.Pelni Bina Sejahtera
KOPERASI MAKMUR MANDIRI ruko niaga kalimas blok C no.1 bekasi timur
Nama Kelompok :

Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10

1.Kepengurusan
Susunan pengurus dan badan penasehat koperasi karyawan PT.Pelni Bina Sejahtera periode masa kerja tahun 2010-2012
Pembina dan penasihat
Pembina :
-Direksi PT.Pelni

Penasehat :
-Capt.Sukindar
-Tiana kusumadewi
-Moch. Ashar

Badan Pengurus
Ketua :
-Suharyanto

Wakil ketua :
-Dauman Huri

Sekretaris :
-Mungi Panti Retno

Bendahara :
-T.A. Taufik Iskandar

Bidang Akuntansi :
-Hefi Aprianto

Bidang Simpan Pinjam :
-Sunarno

Bidang Usaha :
-Dirga Maulana
-Yahya Kuncoro
-Edy Heryadi
-Indra Maulana

Badan Pengawas
-Tukul Harsono
-Subiyantoro
-Patoh Sembiring

2.Jenis Koperasi : koperasi dinas (simpan pinjam)
sejarah koperasi
Koperasi karyawan PT. Pelni Bina Sejahtera didirikan pada tanggal 16 februari 1980 dan telah mendapatkan surat keputusan kepala kantor koperasi wilayah DKI Jakarta nomor 1364/BH/I tanggal 09 juni 1980.

3.Teknis dan Tujuan Dalam Menjalankan Koperasi
Sebagai koperasi dinas, Bina Sejahtera didirikan untuk maksud dan tujuan :
1. Mewajibkan dan menggiatkan anggota untuk menyimpan pada koperasi secara teratur.
2. Memberikan pinjaman uang kepada anggota dengan bunga ringan
3. Mengusahakan barang-barang primer dan sekunder untuk memenuhi kebutuhan anggota
4. Mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar serta peraturan pemerintah yang berlaku
5. Menambah pengetahuan anggota tentang perkoperasian
Usaha pokok Bina Sejahtera adalah simpan pinjam,usaha lainnya adalah sebagai pemasok barang dan jasa kepada PT. Pelni,penyediaan dana kepada rekanan PT. Pelni,dan usaha lain, seperti mitra kerja dari developer perumahan.

4.Hambatan dalam menjalankan koperasi

Review Jurnal Koperasi; Sistem Akuntansi Keuangan Koperasi


Oleh : Juraeis Al Hadat

http://www.depkop.go.id
http://www.tugaskuliah.info/2009/10/makalah-kelompok-akuntansi-koperasi.html

Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi (23210346)
Kelas : 2EB10

Abstraksi
Dalam penulisan jurnal ini membahas tentang sistem akuntansi untuk koperasi. Laporan keuangan yang akurat sangat dibutuhkan sekali karena data tersebut kan menjadi informasi serta acuan dalam pengambilan, kita tahu koperasi merupakan usaha berbasis kerakyatan. Dengan sitem akuntansi yang sederhana, namun cukup efektif,efisien, serta mudah dalam pelaporan keuangan. Dengan sistem akuntansi yang baik diharapkan akan dapat majukan koperasi sebagai sistem ekonomi kerakyatan. Koperasi media pembelajaran para anggota koperasi untuk berwirausaha. Kata kunci: Akuntansi, Sistem, Laporan, Koperasi, Komputer

I.Latar Belakang masalah
Menurut Undang-undang no 25 tahun 1992 pasal 4, Koperasi adalah badan Usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hokum koperasi yang berlandaskan prinsip koperasi sekaligus gerkan ekonomi kerakyatan.Tujuan Koperasi adalah mensejahterakan anggotanya. Menurut pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No 27 (revisi 1998), dusebutkan bahwa karakteristik dari koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain, yaitu anggota koperasi selain sebagai pengguna jasa koperasi ataupun konsumen koperasi namun juga sebagai pemilik koperasi.
Kita tahu sebagian besar uasah yang tumbuh di Indonesia merupakan uasa dengna system liberalisme ataupun system kapitalisme, seorang ataupun badan yang meiliki modal yang besar bias menguasai pasar, tingkat bpersaingan ekonomi cukup tinngi, tak ada media pembelajaran berwirausaha dalam badan uasa yang menganut system kapitalisme taupun liberalisme. Yang memiliki modal besar ialah yang dapat memegang kendali pasar, tiap orang hanya meiliki status sebagai pekerja saja.. koperasi merupakan badan usaha yang dapat menjakau perekonomian kelas mikro, koperasi menjangkau setiap lapsan masyarakat dengan berbagai klasifikasi berbagai sudut pandang.
Koperasi merupakan alternative yang cukup untuk mengurangi masalah ekonomi salah satunya masalah pengangguran, apabila masalah penganguran dapat ditekankan itu dapat berdampak positif untuk perkembangan roda ekonomi selanjutnya. Penganguran dapat teratsi dapat meberiksn dampak positif disegala bidang dalam bernegara, menambah GDP, menambah tingkat pendapat Negara dan perorangan, menurunkan tingkat kriminalitas, pendidikan, tingkat kesehatan masyarakat, semua itu akan terwujud jika menggunakan konsep/ sistem perekonomian yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Jadi koperasi merupakan solusi yang boleh dikatakan cukup efektif. Di beberapa Negara maju seperti koperasi menjadi salah satu system ekonomi dominant yang digunakan oleh masyarakatnya., sebuh swalayan besar dikoperasi merupaka bdan usaha yang berlandaskan persis seperti koperasi.
Kendala di Indonesia mengapa koperasi sangat minim tingkat perkembangannya adalah karena sistem akuntansi keuangan yang mereka gunakan kurang memenuhi syarat. Ketidak lengkapan sarana informasi khusunya menyangkut masalah keuangan akan sangat berpengaruh dengan keputusan yang diambil saat rapat koperasi. Jika koperasi telah mmenuhi standard dari laporan keuangan tetapi untuk unit usaha lain tidak begitu memahami format dari pada laporan keuangan yang ingin digunakan. Dengan latar belakang masalah itu Saya membuat jurnal berupa konsep atau desain dari sistem akuntansi keungan yang diharapkan akan memper mudah laporan keingan koperasi serta dapat menyeragamkan format dari laporan yang ingin dibuat, dengan sarana dan prasana yang cukup diharapkan koperasi dapat memiliki laporan keuangan yang lengkap, seragam serta sesuai dengan standard laporan keuangan pada umumnya jadi dengan laporan yang cukup memadai diharapkan semua anggota koperasi dapat membuat keputusan yang tepat terkait dengan kemajuan suau koperasi dengan langkah yang diambil.

II.Pembahasan.
Analisi sistem akuntasi koperasi UU no 25 tahun 1992 pasal 35 laporan tahunan koperasi harus memuat perhitungan tahunan ( terdiri dari : neraca akhir tahun, buku baru dan lampau, keadaankeunangan koperasi serta hasil yang telah dicapai) sedangkan menurut PP no ( pasal 25- 27 pemerintah dalam hal ini sebegai meteri koperasi) menyatakan koperasi wajib melaporkan berupa laporan berkala tahaunnan kepada mentri yang telah diaudit (keabsahan dari suatu laporan keuangan koperasi) oleh akuntan publik selanjutnya diserahkan kepada mentri koperasi, laporan berupa neraca dan perhitungan rugi laba.
Laporan yang diserahkan kepada pemerintah merupakan rangkuman dari beberapa laporan yang dibuat sesua dengan klasifikasi bentuk transaksi ekonomi yang dilakukan oleh koperasi, laprankeungan dasar berupa jurnal harian, minguan, serta dapat dirangkum dalam laporan rugi/laba, neraca, serta laporan perubahan modal yang dilakukan dalam jangka 1 bulan, selanjtnya terdapat bntuk lapran yang dibuat dalam triwulan, semester serta laporan tahunana ynag dugunakankoperasi dan diserahkan oleh mentri koperasi yang telah diaudit oleh mentri koperasi. Bagaimana proses tersebut dapat dilakukan dengan baik , dengan akurasi isi laporan yang memadai. Aplikasi akutasi yang Saya jabarkan berkaitan dengan laporan yang dibuat koperasi terkait dengan komponen berupa subjek yang berhubungan ekonomi atau pun subjek yang terkait dengan transaksi ekonomi dengan koperasi . Aplikasi sistem akuntansi keungan koperasi dibuat dengan menggunkan bahasa pemrograman Visual Fox Pro 2009, aplikasi yang dapat support dengan sistem operasi Windows, yang merupak OS dengan pengguna cukup dominan didunia dan Indonesia., suatu hal yang sudsah lumrah untuk kebanyakan orang di Indonesia.

III.Analisis Masalah
Terkadang koperasi kebanyak melakukan metode koperasi yang sederhana, laporan yang diterima dan sebagai bahan untuk rapat koperasi minim jadi sulit dalam menentkan target serta strategi untuk memajukan koperasiuntuk kegiatan atau tahun operasional koperasi dimasa datang, misalkan laporan untuk reubahan stok gudanag jarang sekali mereka
lakukan serta dalam masa modern ini perlu untuk pelaporan ransaksi melalu pihak ketiga sepeti bank, perliu adanya sistem yang ccocok untuk koperasi dimasa sekarang . sistemyang cocok sesuia dengan kebotuhan dlam laporan operasional saat ini memeng cukup rimut dana banayak sekali ragam dari rekening-rekening akuntansi yang muncul namaun hal tersebut bukan masalah, pada dasarnya arus akuntansi sama hanya objeknya saja yang berbeda, intinya adalah mangakumulasi nilai keuangan (aktiva dan passiva) koperasi itu sendiri.

1.Sistem yang Diusulkan
Sistem yang diusulkan adalah mencatat transaksi serta laporan dari komponen koperasi khusu untuk koperasi penjulan (bukan koperasi simpoan pinjam) yaitu: transaksi pembeli, penjualan (koperasi), keuangan melalui pihak ketiga (bank, unit koperasi lain, penggadian, dsb) segala bentuk lembaga administratif atau pembayaran.

2.Perancangan Sistem yang Diusulkan
Sistem yang diusulkan terdiri dari beberapa bagian:
1. Jurnal
Menyangkut pencatatan transaksi dikoperasi seperti jurnal harian, bulanan (merupakan rangkuman dari jurnal harian), laporan laba rugi, laporan peubahan modal, neraca.
2. Penjualan
Untuk komponene dari sistem penjualan yaitu transaksi yang muncul antara penjual (koperasi) dengan pembeli (anggota koperasi)
3. Pembelian
Transaksi yang tmbul antara koperasi dengan supplier atau agen, koperasi sebgai pembeli.
4. Kas dan Bank
Transaksi yang muncul dengan melalui pihak ketiga kegaitan administratif melualui pihak ketiga, metode transaksi yan disa dikatakan cukup modern labih efektif dan efisien.
5. Persediaan
Sistem yang berkaitan dengan stok barnag dalam gudanag memudahkan dalam menentukan besaan (kuantitas) pembelian pada koperasi, menentukan harga jual, sumber referensi untuk menetukan besaran penjualan barang.

Deskripsi Sistem Aplikasi Akuntansi Koperasi

Gambaran sistem akuntansi koperasi meliputi:
1. Rancangan Apliasi Akuntansi
2. Alur sistem
3. rancangan proses sistem
4. Rancangan database
Variabel- variabel pada rancangan input output serta data-data yang merupkan bagian dari sistem aplikasi akuntansi:
1. Input perkiraan akuntansi:
- Kode rekening [10]/ bit
- Nama rekening [30]/ char
-bagian merupakan variabel dari unit pengembangan koperasi induk) [30]/ char
- Normal balance ( debit dan kredit) [30}/ char.
2. Input jurnal transaksi
2.1 – Nomor bukti [10]/ bit
2.2 – Tanggal (italic/ dd- mm- yyyy).
2.3 - Kolom kode rekening debit [9]/ numeric
2.4 - Kolom keterangan [30]/ char.
2.5 – Kolom debit rekening
3. Output aplikasi, berupa laporan yang manggam,brkan secara garis besar:
- Laporan transaksi: meliputi jurnal umum, jurnal khusus,
- Laporan keungan, meliputi: neraca percobaan, buku besar (utama dan buku besar pembantu), laporan rugi/aba, laporan harga pokok penjualan (HPP), laporan neraca perubahan modal.

Deskripsi sistem Aplikasi Akuntansi Pada Koperasi

Alur Sistem membuat Aplikasi Akuntansi

· Jurnal
Jurnal berisi beberapa akun diantaranya: kas, peembelian, penualan, hutang, piutang, HPP (Harga Pokok Penjualan), Umum. Filed akun memiliki format yang sama: header jurnal: nomor jurnal, tanggal, referensi, keterangan, dan detail jurnal: no perkiraan, nama perkiraan, debit, kredit, serta status validasi.
· Import Jurnal
Merupakan rangkuman dari trnasaksi yang telah terjadi selama 1 hari operasional, detail format: header jurnal, kode transaksi, tanggal. Kode pelanggan, total.
· Daftar Saldo
Berisi saldo perkiraan atau akun dengan format: no. Perkiraan, nama perkiraan, dan total. Dengan detail setiapa akun terdaftar dalam buku bantu berguna untuk memudahkan dalam menvalidasi akun yang masuk, disesuikan dengan pilihan kisaran tanggal.
· Konsolidasi
Menggabungkan semua saldo perkiraan dalam 1 bulan dibuat dalam laporan blan koperasi.


Penjualan

Penjualan, Order, & Retur
Attribut setiap perkiraan akuntansi akun transaksi penjualan: No. Transaksi, tanggal, pelanggan, keterangan, piotang total, jatuh tempo, limit. Akun order penjualan: no order, tanggal, pelanggan, keterangan, referensi, masa berlaku, tanggal kirim, detail dai order penjualan: no, kode barang, nama barang, jumlah barang, harga satuan, dan total. Akun retur penjualan, format formnya: no retur tanggal pelangan( dapat menggunakan opsi pilihan data base memudahkan dalam mencari nama pelanggan yang telah diklasifikasikan), keterangan, detail retur penjualan: no, kode, nama barang, jumlah, harga satuan,dan total.

§ Pelanggan
Format form pelanggan: kode pelanggan, nama pelanggan, tgl registrasi, batas kredit, kode sales, nama sales.
§ Salesman
Attribut akun salesman: nama, alamat, nomer telepon, dan fax
§ Pembayaran Piutang
Format akun pembayaran piutang: no transaksi, tanggal, pelanggan, keterangan, detail form: keterangan dan jumlah


Pembelian

Pembelian,Retur ,& Order
Format pengisian data transaksi: tipe transaksi (bersifat optional: bali langsung: referensi beli langsunga, dari order, penyesuaian: dar no transaksi), datail transaksipembelian: no, kode, nama barang, jumlah, satuan, harga satuan, toital, uang muka, sisa, hutang: jatih tempo(dd-mm-yyyy).

§ Pemasok
Detai from pemasok: kode pemasok (supplier), nama pemasok, tgl registrasi, batas kredit.
§ Pembayaran Utang
Jenis transaksi (optional: transaksi hutang dan pembayaran hutang), cara opembayaran: (optional :kas,dan kredit), nomer transaksi, tanggal, pemasok, keterangan,.


Kas & Bank

Transaksi ke Bank
Nomer, tanggal, referensi, keterangan, tipe transaksi (optionsl: kas masuk dan kas keluar), nomor, tanggal, referensi, keterangan, detail form transaksi kas: no, perkiraan, nama perkiraan, jumalah, dan total keseluruhan.

§ Bank
Akun daftar bank: kode bank, nama bank, perkiraan, nama penebung nomer rekening. Detail Bank: alamat, telepon, fax
§ BG
BG masuk, belum cair, BG keluar, sudah cair, datail form bg: no bg, nama bank, pelanngan, kode pelanngan, tanggal cair, jumlah.


Persediaan

Persediaan
Detail form: kode barang, nama barang, gudang, etalase, satuan, harga jual. Metode pancari bersifat optional: berdasarkan nama dan berdasarkan kode.

· Costing
Kosting merupakan proses megelurkan atau menegambil barang yang diukur dengan satuan biaya atau harga barang bersangkutan. Detail form akun kosting: nomer transaksi, nomer referensi, keterangan, tanggal, detail form: no, kode, nama barang, jumlah, harga satuan, total, serta field isi untuk perkiraan, serta sumbr barang (gudang dan estelase), total keseluruhan barang yang dikosting.
· Mutasi
Mutasi: perindahan sumber lokasi barang yang disimpan seperti catat dalam no gudang dan estelase, detail form: no transaksi, tanggal, no referensi, jeterangan, no, kode, nama barang, jmlan, harga, tiatal barang yang di mutasi keseluruhan.
· Assembli
Aseembling adalah proses membuat barang jadi terdiri dati beberapa bahan baku, bahan baku terbagi atad 2 jenis: bahan mentah dan bahan setengah jadi.


IV.Kesimpulan
Sistem akuntansi yang cukup memadai yang telah dibahas akan cukup untuk menetukan strategi bail operasional, keuangan, penjualan, maupun pembali pada koperasi, selain itu koperasi dapat pula menentukan target penjualan pada rapat kopearsi RSUP. Lapran yang memadai kan cukup untuk menetukan stategi oleh semua anggota koperasi.



Daftar Pustaka
Waryono, Teguh. Membuat Aplikasi Akuntansi dengan Visual Fox Pro 9. Gramedia Pustaka Utama.2009. Jakarta.

Sitio, Arifin.Tamba Halomoan. Chandra Kristiaji, Wisnu. Koperasi: Teori dan Praktik. 2001. Erlangga. Jakarta.

Review Jurnal Koperasi 14


Nama Kelompok : Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi (23210346)
Kelas : 2EB10

[Artikel - Th. II - No. 4 - Juli 2003]

Mubyarto
DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI

Pendahuluan
Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).
Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.
Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

Reformasi Kebablasan
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional.
Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.
Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.

Amandemen terhadap Amandemen:
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)
Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.
Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.
Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)
Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.
Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.
Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.

Penutup
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi
The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)
Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_5.htm

Review Jurnal

I. Abstraksi
Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.

II. Point-Point
1. Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional.
2. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia.
3. Perlu dilakukan Reformasi ekonomi untuk Indonesia yaitu reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.

III. Penutup
Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.

REVIEW JURNAL; PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOPERASI DI DUNIA DAN INDONESIA


Oleh: Noer Soetrisno
http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/PAS.SURUT.PERK.KOPERASI-Yog.htm

Kelompok : Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi Subrata (23210346)


1. Abstraksi
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

2. Pembahasan
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

Selama ini “koperasi” di¬kem¬bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar ba¬gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pem¬bangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se¬lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem¬bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
3. Penutup
Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.
Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.


DAFTAR PUSTAKA
1. Couture, M-F, D. Faber, M. Larim, A-B. Nippierd : Transition to Cooperative Entrepreneurship, ILO and University of Nyeurode, of Nyenrode, Genewa, 2002.
2. Ravi Shankar and Garry Conan : Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform, ICA, RAPA, New Delhi, 2002.
3. Mubyarto ; Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000.
4. Noer Soetrisno : Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat, Instrans, Jakarta 2001.
5. Oshima, Harry T ; The Development of Service Sector in Asia; Mimeo, UPSE-Diliman, Philippines, June 1982.
6. Rusidi, Prof. Dr. Ir. MS dan Maman Suratman, Drs. MSi : Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung, 2002

Review Jurnal Koperasi; KAJI TINDAK PENINGKATAN PERAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF


Oleh : Jannes Situmorang
Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian
nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. Koperasi dan UKM belum mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank yang masih terbatas. Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi. Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai lembaga keuangan alternatif.

2. Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut:
1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan
bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?

3. Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan
peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan
kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan
sebagai lembaga keuangan alternatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI). Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan alternatif? Ada yang berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang menggunakan sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan bukan sistem bagi
hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada kedekatan dan orientasi pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil. Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu :Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwilmenjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah.
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c).sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro.
Kelemahannya adalah :
a). skala usaha kecil,
b). Permodalan terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan,
b).standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalm penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.


3. Pola Tabungan dan Pembiayaan

1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau
badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai
berikut:
(1). Tabungan persiapan qurban;
(2). Tabungan pendidikan;
(3).Tabungan persiapan untuk nikah;
(4). Tabungan persiapan untuk melahirkan;
(5). Tabungan naik haji/umroh;
(6). Simpanan berjangka/deposito;
(7).Simpanan khusus untuk kelahiran;
(8). Simpanan sukarela;
(9). Simpanan haritua;
(10). Simpanan aqiqoh.

2). Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT
dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
• Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
• Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill
selama proyek berlangsung.
• Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
• Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
• Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
• Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
• Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
• Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
• Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.

3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial
dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya.

4. Pembentukan BMT
Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :
1) memajukan kesejahteraan anggota dan masyarakat umum,
2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil dengan pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut:
Pertama, para pendiri minimum 20 orang. Para pendiri menghubungi PINBUK
setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon
pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga,mempersiapkan modal awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat,jika bermaksud menjadi koperasi, BMT dapat segera mengajukan permohonan badan hukum koperasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap
sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat setempat
yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain berminat membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan formal,
pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang yang terdiri
dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3 orang
yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian administrasi/keuangan dan
bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan mencari
anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi
profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain: arisan,
simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan lain-lain.
Sumber : Kajian Balitbangkop, PMK dan Pinbuk (1998)

5. Pembiakan BMT
BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri, membentuk pengurus dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.

III. METODE KAJIAN

1. Lokasi dan Objek Kajian
Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.

2. Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.

3. Penarikan Sampel
BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi
dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.

4. Model Analisis.
Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.

5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.

IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam
bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya.

1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif
Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2).Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7).Sarana Usaha.

2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN
Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.

1). Kesehatan Kelembagaan
Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili faktor-faktor berikut:
(A). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT,
(B). Tingkat kemandirian,
(C). Keaktifan pengurus BMT, dan
(D). Kualitas pengelola.

(A). Peran Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT
Proses pendirian BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi tetapi yang lebih penting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariah yang diyakini para pendirinya dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan masa depan keberadaan BMT. Peranan tokoh masyarakat sangat dominan dalam pendirian BMT. Peranan para tokoh ini dapat dilihat dari jumlah orang yang mendirikan BMT. Semakin banyak pendiri BMT, diasumsikan semakin sehat BMT yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit pendiri BMT, diasumsikan semakin tidak sehat BMT tersebut. Pendiri dianggap banyak bila
pendirinya lebih dari 20 orang dan dianggap sedikit jika pendirinya kurang dari 20 orang.

(B). Tingkat Kemandirian
Hasil pengamatan lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti
dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama,
pengurus majelis taklim. Para pendiri ini menyediakan modal seadanya,
yakni berkisar antara kurang dari Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta

(C). Keaktifan Pengurus BMT
Secara ideal untuk menilai keaktifan pengurus harus dilakukan
pengamatan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.
Namun, karena hal ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu
dan sumberdaya lainnya maka peneliti menggunakan variabel kehadiran
sebagai pendekatan untuk menjelaskan keaktifan pengurus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pengurus yakni ketua,
sekretaris dan bendahara relative baik.

(D). Kualitas Pengelola
Pengelola BMT terdiri dari manajer, bagian keuangan, bagian pembiayaan dan penagihan, serta sekretariat. Masing-masing pengelola mempunyai tanggung jawab dan wewenang. Pengelola yang bermutu dapat mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Pengertian mutu pengelola umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan standar kompetensi untuk menjalankan BMT. Pengelola yang berpendidikan lebih tinggi diasumsikan lebih bermutu dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah. Standar kompetensi pengelola BMT
diartikan sebagai kemampuan pengelola menjalankan standar operasi BMT sesuai dengan prinsip Bank Syariah. Pengelola harus memiliki skill/ketrampilan dalam mengelola usaha. Ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan dari PINBUK setempat.

2). Kesehatan Keuangan
Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT. Banyak cara yang dipakai untuk menilai kesehatan keuangan BMT seperti :
(A). Struktur permodalan,
(B). Kualitas aktiva produktif,
(C). Likuiditas,
(D). Rentabilitas,dan
(E). Efisiensi.

(A). Struktur Permodalan
Keberadaan/kesehatan lembaga keuangan sangat tergantung dari kepercayaan nasabah/masyarakat, karena itu kepercayaan adalah segalagalanya bagi lembaga keuangan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui dan menghitung kesehatan struktur permodalan BMT yaitu menghitung rasio antara Modal dan Simpanan yang dirumuskan sebagi berikut:
Rumus 1 : Struktur Permodalan
Struktur modal = Modal : Simpanan
Bila : < 5 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 15 % adalah kurang sehat
16 % - 25 % adalah sehat
> 25 % adalah sangat sehat

Modal adalah seluruh nilai simpanan pokok khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan, laba/rugi.Simpanan adalah seluruh nilai simpanan sukarela, (misalnya simpanan mudhrobah, Idul Fitri, pendidikan dsb termasuk untung kepada pihak ketiga)

(B). Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Kredit yang dikeluarkan harus disalurkan pada orang/nasabah yang
tepat. Tepat berarti tepat jumlah dan waktu, tepat orang, tepat
penggunaan, dan tepat pengembaliannya sehingga tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Kualitas aktiva produktif diartikan sebagai
sejumlah pembiayaan yang dapat menghasilkan pendapatan/bagi hasil
dengan sedikit mungkin menimbulkan kredit macet. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persyaratan jaminan hanya diberikan kepada
peminjam skala besar. Jaminan itu berupa sertifikat tanah, BPKB,
barang atau akte/surat-surat berharga lain.
Rumus 2 : Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Penentuan kinerja BMT dalam pencapaian kualita aktiva produktif dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Kredit jatuh tempo (bermasalah)
KAP = ------------------------------------------------
Total pembiayaan
Bila : > 10 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 10 % adalah kurang sehat
3 % - 5 % adalah sehat
> 3 % adalah sangat sehat

(C). Likuiditas
Tersedianya secara cukup dana kas dan bank (aktiva yang paling likuid) yang dapat diuangkan sewaktu-waktu menjadi jaminan kesehatan likuiditas bagi BMT yang bersangkutan. Tersedianya dana likuid juga memberikan rasa aman bagi penabung/nasabah. BMT yang sehat dan likuid adalah BMT yang mampu menjaga tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar. Bila dana kas danbanknya terlalu kecil bisa disebut BMT yang illikuid, sementara yang terlalu besar dana likuiditasnya bisa dikategorikan sebagai BMT yang memegang dana yang idle (menganggur). BMT yang illikuid akan menimbulkan penurunan kepercayaan dari masyarakat, sementara bagi BMT yang banyak idle memberi dampak pada tingginya cost of fund, karena selama uang itu menganggur, BMT harus membayar bagi hasil kepada si penyimpan. Adapun rumus untuk menentukan apakah BMT memenuhi kesehatan likuiditas adalah sebagai berikut.
Rumus 3 : Likuiditas
PINBUK menyarankan agar BMT dapaa mempertahankan dana lancer (likuid) yang dianggap aman berkisar 10% - 20%. Pengalaman di lapang menunjukkan, umumnya BMT menyediakan dana kas yang dianggap aman sebesar 25% -30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 11% BMT yang sngat tidak likuid, 17% kurang likuid, 25% likuid tinggi dan 47% sangat tinggi likuiditasnya.
Total pembiayaan
Likuiditas = ------------------------------------
Total dana diterima
Bila : > 94 %, adalah sangat tidak likuid
> 90 % - 94 % adalah kurang likuid
> 75 % - 90 % adalah likuid
> 75 % adalah sangat likuid

(D). Rentabilitas
Rentabilitas dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan rentabilitas adalah sebagai berikut.
Rumus 4 : Rentabilitas
Dari sejumlah BMT sampel yang diteliti, 14% BMT sangat rendah
rentabilitasnya, 73% sangat tinggi, 10% tinggi dan 3% kurang.
(E). Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu. Biaya operasional meliputi biaya bagi hasil simpnan, overhead cost seperti listrik, karyawan, telepon, biaya penagihan dll. Pendapatan operasional terdiri dari pendapatan bagi hasil, mark up dan hasil kegiatan pendanaan suatu usaha nasabah.Efisiensi usaha BMT dapat diukur dengan menghitung rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Jika rasionya >1 berarti BMT mengalami kerugian dan bila <1 berarti BMT mendapat keuntungan.
Rumus 5 : Efisiensi
Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT masih kurang efisien dalam mengelola usahanya. BMT sampel mengalami
Laba (surplus)
Rentabilitas = ------------------------------------
Total harta
Bila : > 1 %, rentabilitasnya sangat rendah
> 1 % - 1,9 % rentabilitasnya kurang
> 2 % - 3 % rentabilitasnya tinggi
> 3 % rentabilitasnya sangat tinggi
Biaya operasional
Efisiensi = ------------------------------------
Pendapatan operasional
Bila : > 90 %, efesiensi sangat rendah
> 76 % - 90 % kurang efisien
> 60 % - 75 % efisiensinya tinggi
> 60 % efisiensinya sangat tinggi

kerugian karena terbebani biaya lain yang cukup besar yaitu social cost (biaya perkumpulan) yang tidak ada kaitannya dengan kegiatn BMT secara langsung.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi
dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para
nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah
Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah
kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah
yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu
dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan
karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi
hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )
8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan,
kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat,
sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.

2. Saran
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta.

Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT.PINBUK, Jakarta.

Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta.

Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta.

Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta.

Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas.

Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.

Majalah PINBUK.


http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_8_%20Jurnal_lembaga_keuangan_alt.pdf

Review Jurnal Koperasi; PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI DALAM MASALAH PERBERASAN


Oleh : Teuku Syarif
http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_Nomor%202%20Tahun%20I_2006/09_Pengkajian_Pemusat_Pengem_Kop_Bid_PBiaya.pdf

Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10

I. Latar Belakang
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari 33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
produksi padi juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian
beras oleh pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun
2007. Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari
Rp. 1.723,- menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari
Rp. 2.280,- menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi
Rp. 4.000,- per Kg. Kenaikan HPP juga didukung dengan kesiapan Perum Bulog untuk membeli gabah/beras dari petani, dengan dana sebanyak Rp. 6 Triliun, yang diproyeksikan dapat membeli beras dari petani sebanyak 1,5 juta ton. Perum Bulog juga telah mempersiapkan sebanyak 4.500 orang personil yang tersebar diseluruh Indonesia dan Kapasitas Gudang yang mencapai 3 juta ton. Kesiapan Perum Bulog ini telah memberikan optimisme yang cukup besar bahwa pendapatan petani akan dapat ditingkatkan dan petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi gabah/berasnya, sehingga target kenaikan produksi sebanyak 2 juta ton beras dapat dicapai.
Perhitungan-perhitungan tersebut memang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam karena apa yang dikemukakan sesungguhnya masih sangat sederhana dan cenderung mengesampingkan banyak faktor yang lainnya, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan petani. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Sebagian besar petani adalah mereka yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan pengusaha kecil, dengan kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan sangat mudah dipengaruhi oleh flutuasi harga gabah/beras yang akan dijualnya;
2) Pola produksi dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke menjual gabah pada waktu panen (menurut Supriadi 1991 sebagian lebih dari
90% gabah petani di Propinsi Jawa Timur di jual pada saat panen di sawah). Dalam hal ini bahkan menurut Soemardjan (1989) 64% petani menjual gabah
dengan sistem tebasan (semasih belum di panen);
3) Kecenderungan Perum Bulog untuk membeli beras dan bukan gabah sehingga petani harus mempunyai modal tambahan untuk melakukan proses gabahnya menjadi beras;
4) Keterbatasan kemampuan Perum Bulog untuk berhubungan langsung dengan
petani dan hanya berhubungan dengan mitra usahnya yaitu para pedagang besar
di tingkat kabupaten;
5) Perubahan Status Bulog dari Badan menjadi Perum yang berorientasi pada profit, sehingga tidak memungkinkan bagi Perum Bulog menjual beras di bawah harga beli. Sedangkan diketahui bahwa pada musim musim panen harga beli Perum Bulog sering berada di atas harga pasar;
6)Pemilikan sarana, ketersediaan personil dan mekanisme kerja Bulog dalam pembelian gabah beras petani belum menjamin dapat dilaksanakannya pembelian gabah/beras langsung dari petani; 7) Dari ke tujuh masalah di atas, maka bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat oligopoli, di mana kelompok pedagang menjadi penentu harga (price maker), sedangkan petani hanya berperan sebagai penerima harga (price taker). Dari
berbagai masalah tersebut, fungsi Perum Bulog sebagai lembaga penyangga harga (Price buffer) dengan segala keterbatasannya, bisa diragukan efektifitasnya. Departemen Pertanian lebih lanjut menginformasikan bahwa pada Bulan Maret, April dan Mei dilakukan panen masing masing pada lahan seluas 1,45 juta Ha, 1,9 juta Ha dan 1,55 juta Ha (Harian Republika tanggal 22 April 2007).
Dengan perkataan lain selama tiga bulan ini saja, dengan asumsi produksi per
Ha sebesar 4 ton, akan dihasilkan gabah kering giling sebanyak 19,6 juta Ton. Jika produksi gabah tersebut dikonversi dalam bentuk beras maka setiap bulannya akan ada produksi beras sebanyak 60% x 19,6 juta ton, atau sebesar
11,76 juta ton. Jika dari jumlah tersebut 90% dijual ke pasar bebas, maka pasar
akan menampung produksi sebanyak 10,584 juta ton. Dari data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 diketahui bahwa konsumsi beras per orang perbulan pada 2005 rata-rata sebanyak 10 Kg Dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, maka selama 3 bulan tersebut akan dikonsumsi
sebanyak 6,6 juta ton. Dengan demikian kelebihan produksi adalah sebesar 3,984 juta ton, sedangkan Perum Bulog hanya mampu menampung sebanyak 1,5 juta ton (27,61%). Akibatnya akan ada surplus pasar sebanyak 2,484 juta ton. Yang menjadi pertanyaan adalah:
1) Apakah jumlah surplus yang lebih besar dari daya tampung Bulog (suplai di pasar meningkat, sedangkan demand tetap), tidak mempengaruhi keseimbangan pasar, yang secara langsung akan menurunkan harga beras ditingkat petani?;
2) Apakah Perum Bulog dapat menjual langsung produk yang sudah dibelinya ke pasar bebas, agar cashflownya tidak terganggu ?;
3) Apakah Perum Bulog sudah mempersiapkan, sarana, personil dan mekanisme pembelian gabah/beras langsung dari petani ?
Setelah satu bulan HPP baru ditetapkan dan panen mulai terjadi dibeberapa daerah terlihat adanya kecenderungan bahwa nasib petani tidak banyak berubah. Pada awal musim panen ada kecenderungan harga meningkat dan berada di atas HPP yang ditetapkan seperti yang terlihat di Indramayu Jawa Barat, dimana harga GKG pernah menyentuh Rp. 2.700,- per kilogram, tetapi setelah panen berjalan satu minggu harga turun sampai dengan Rp. 1.800,- per Kg. Demikian juga yang terlihat di Jawa Timur. Sampai dengan akhir April tahun 2007, setelah panen diperkirakan mencapai 1 juta ton GKG dan Perum bulog Regional Jawa Timur mentargetkan dapat menyerap Gabah Beras sebanyak 650.400 ton ternyata baru teralisir sebanyak 12.200 ton atau 1,876% dari yang ditargetkan.
Fenome di atas menimbulkan banyak pertanyaan yang bisa membuat orang pesimis. Demikian juga dengan kesiapan personil Bulog yang jumlahnya hanya 4.500 orang, sedangkan jumlah desa di Indonesia sekarang ini sudah lebih dari 90.000 unit. Dengan perkataan lain akan menimbulkan pertanyaan apakah satu orang personil Perum Bulog dapat melayani 20 desa atau lebih. Data di atas
sudah menjawab pertanyaan ini, tetapi semua pertanyaan tersebut di atas akhirnya mungkin akan bermuara pada pertanyaan dasar yaitu :”Apakah
peningkatan produksi beras nasional hanya ditujukan untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri, dengan mengesampingkan tujuan pemberdayaan petani sebagai UMKM yang perlu dilindungi kepentingan ekonominya dan Apakah kebijaksanaan ini sudah dilengkapi dengan kesiapan sistem kelembagaannya”.
Dalam upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan
dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh
Perum Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang memadai untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit
tersebut. Dalam hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak merangkul Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki pengalaman dan sarana pendukung yang cukup banyak baik berupa Gudang
Lantai Jemur dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung lainnya.


II. Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.
Disamping potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi banyak kendala dan permasalahan baik yang bersifat internal seperti kejujuran pengelola KUD dalam menggunakan dana pengadaan gabah/beras yang bersumber dari pinjaman pemerintah (dengan subsidi bunga), maupun masalah eksternal antara
lain hubungan dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan Perum Bulog, yang tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani seharusnya dapat ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah
beras dari petani, tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal dengan Pola I, hampir tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak
kendala antara lain;
a) petani sudah menjual dengan sistem tebasan;
b) petani tidak memiliki lagi lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus menjual gabahnya langsung di sawah sedangkan KUD dihadapkan padamasalah keterbatasan sarana angkutan dan personil agar dapat langsung membeli gabah petani di sawah, serta kebiasaan KUD untuk bekerjasama dengan para pedagang pengumpul (yang umumnya juga UMK yang anggota KUD).
Kebiasaan sebagian besar KUD untuk membeli gabah/beras dari pedagang pengumpul atau memberikan pinjaman modal kepada para pedagang pengumpul nampaknya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa KUD belum
memberikan dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan besarnya fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai dengan tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen
Koperasi dan UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun tersebut hanya sebesar 8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan
terendah 6,64% tahun 1996. Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka dibandingkan dengan keadaan tahun 2004 samapi dengan tahun 2006 yang ratarata mencapai 17,89%. Dari data diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa keikutsertaan KUD dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan fluktuasi harga yang secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi untuk menjadi stabilisator harga ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD dalam pelaksanaan program ini seperti kerjasama sama dengan para pedagang pengumpul masih bisa ditolerir, karena para pedagang itu sendiri adalah kelompok UMKM yang notabene juga adalah anggota KUD. Yang tidak dapat ditolerir adalah kerjasama KUD dengan para pedagang besar yang dikenal dengan istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini relatif kecil dan dari hasil penelitian Badan litbang koperasi tahun 1995 diketahui kasus tersebut hanyamelibatkan 12,8% KUD yang ikut dalam Program Pengadaaan Pangan, terutama di daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hal inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan yang dikeluarkan oleh Bulog yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas gabah beras yang disetorkan oleh KUD.
Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 2000-an, sekarang Perum Bulog secara terang-terangan menyatakan telah mampu memenuhi 16% dari target pengadaan/Beras produksi dalam negeri melalui usaha kemitraan dengan para
pedagang beras ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat penampungan gabah/beras atau TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama dengan para pedagang ini jelas legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang memungkinkan Perum Bulog dapat bekerjasama dengan siapa saja yang bisa mendukung tujuan pemenuhan stok beras nasional. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan pola ini harga gabah ditingkat petani sudah membaik, sehingga dapat mendorong petani untuk lebih meningkatkan lagi produksi gabahnya. Untuk mendapatkan jawaban kongkrit atas pertanyaan ini mungkin masih memerlukan waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi yang pasti fluktuasi harga yang cukup besar ditingkat petani merupakan indikasi awal bahwa petani masih menjadi komponen sistem yang terlemah (hanya sebagai price taker) dalam sistem perberasan. Dalam hal ini mungkin dapat disitir pernyataan Sweezi (1978) yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem, in-efisiensi yang terjadi dalam sistem tersebut akan ditanggung oleh komponen sistem yang terlemah. Hal inilah yang patut diwaspadai, karena bila terjadi maka petani tidak akan dapat banyak menerima manfaat dari kebijakan perberasan yang sekarang berlaku dan berakibat pada tidak adanya rangsanga bagi petani untuk meningkatkan produksi beras.
Permasalahan diatas nampaknya merupakan derivasi dari masalah pokok dalam sistem perberasan di Indonesia selama lebih dari enam puluh tahun, yaitu belum adanya kelembagaan yang berfungsi optimal dalam mengatur pendistribusian sumberdaya dan margin dari sistem perberasan diantara semua komponen sistem dalam sistem tersebut yaitu petani produsen, konsumen dan pedagang. Di era orde baru koperasi ditetapkan sebagai kelembagaan dalam sistem perberasan, tetapi peran koperasi belum juga dinilai optimal karena masih adanya berbagai kendala yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kebijakan yang bersandar pada konsep optimalitas dan bukan maksimalitas peran dari lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang merupakan kumpulan orang yang memiliki kepentingan yang sama (homogen). Orangorang tersebut bersatu dalam wadah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya, dalam arti bila petani, maka yang diinginkan adalah mendapatkan harga jual yang lebih baik, sehingga margin yang diterima akan lebih besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan adalah harga beli yang rendah. Dengan demikian menyatukan kedua keinginan tersebut dalam satu wadah kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan, oleh sebab itu diperlukan dua bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi produsen atau koperasi petani dan koperasi konsumen.
Konsepsi yang demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang memiliki peran strategis bagi anggotanya baik petani maupun konsumen. Dalam era orde baru selama lebih dari duapuluh tahun, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Peran KUD juga mau atau tidak mau harus diakui secara langsung telah mendukung keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi petani harus diakui secara signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU yang juga dilakukan oleh KUD. Demikian juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah atau beras telah membantu stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran koperasi dari sisi konsumen, menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen terutama diperkotaan memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini berkaitan langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang merupakan pasar bebas dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitasnya ,Memperhatikan keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem perberasan di Indonesia dan perubahan kebijakan yang secara tidak langsung telah menghapus peran tersebut memang seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menyelesaikan masalah perberasan yang dihadapi sekarang ini. Sebelum krisis di tahun 1997 terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang turut berperan dalam mendukung program pengadaan pangan nasional. Dalam era reformasi jumlah dengan perubahan kebijakan terutama setelah tahun 2003 terjadi penurunan menjadi kurang dari 2000 koperasi. Peran koperasi tersebut juga tidaklah sebesar sebelumnya karena tidak adanya dukungan kredit dari pemerintah, baik untuk tujuaan penyediaan sarana produksi maupun untuk
pengadaan gabah beras dari petani. Perubahan kebijakan ini juga telah mendorong koperasi untuk melakukan inovasi anatara lain dengan membangun
model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi.
Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius dalam mendukung produksi padi nasional. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik
oleh swasta maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran
dari kebijakan ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk, harga pupuk yang sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Demikian juga terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta.
Peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi tidak didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk pembelian pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930
unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat
dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya impor beras yang berarti kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran
devisa untuk tujuan konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya
nasional berupa lahan, dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan
optimal. Kondisi ini tidak terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang
cenderung masih berorientasi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan
dalam waktu cepat. Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional. Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam
perekonomian pasar sangatlah diperlukan.


III. KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN UMKM
Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2002).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,
daerah, dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuhkembangkan kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang
sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi disektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran produk.
Meskipun demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat
pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan income mereka. Sementara di sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk terlibat dalam
pengadaan pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri. Secara umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapibeberapa konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk (Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan pupuk, yang berarti peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini menurun.
Perubahan kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek mengganggu sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu produksi gabah petani. Kekurangan ketersediaan pupuk dan penurunan produksi gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena
itu kekurangan pupuk sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya
kekurangan beras mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
petani menurun. Secara nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan
peningkatan permintaan beras di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam
jangka pendek impor beras berguna mengatasi kekurangan persediaan dalam
negeri, tetapi dalam jangka panjang menguras sumberdaya domestik (menguras
devisa) dan melemahkan stabilitas nasional. Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain.
Hal ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk
dengan harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan tersebut telah menghadapi kondisi “idle capacity.” Indikasi idle capacity koperasi juga terlihat pada penurunan jumlah koperasi yang berfungsi
melayani kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu kebijakan dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku lain. Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusankeputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya. Selalu terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui kebijakan yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendakdicapai. Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut
sebagai biaya pengadaan produksi pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada
resiko yang harus dibayar sebagai akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian, jika kebijakan distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi
sangat kuat mengancam produksi petani (karena petani sebagai pelaku utama
supply side) maka secara substansial kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan nonkoperasi
(swasta) dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan yang mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan permintaan pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan excess supply pupuk, dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas HET. Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tanganpetani sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yangmenyalurkan pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk. Ketimpangan peran koperasi akibat idle capacityyang dialami berpeluang mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan karena :
(1) koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak langsung melalui penyaluran pupuk),
(2) koperasi melakukan pengadaan dan pengolahan gabah/beras petani, dan
(3) koperasi menyalurkan beras kepada konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen. Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas gabah/beras, dan menjamin bahwa surplus gabah tersebut aman untuk tersedia dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan gabah/beras bagi ketahanan pangan.


IV. PENUTUP
Perubahan kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah membangun mekanisme pasar gabah/beras menjamin posisi petani, yang sekaligus juga tidak menjamin ketersediaan beras untuk stok nasional. Sumbangan koperasi baik dalam mendukung pendapatan petani dan ketersedian stok beras nasional juga semakin terbatas. Kondisi kekurangan stok telah terasa selama dua tahun belakangan ini juga ternyata belum mampu merubah persepsi terhadap kepentingan peran koperasi untuk kembali menjadi salah satu komponen penting dalam sistem perberasan nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata koperasi masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentrasentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya
secara substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini walaupun relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki
potensi untuk kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan.
Tinggal lagi yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil kebijakan untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukungprogram ketahanan pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymus, (2002). Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Pemantapan Pangan Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.

-------------, (2007). Kenaikan HPP Gabah /Beras diharapkan akan mendorong petani untuk meningkatkan produksi pad. Harian Republika tanggal 26 April tahun 2007.

Nasution Muslimin, (1991). Pengembangan Peran Koperasi senbagai kelembagaan dalam sistem penyediaan Pangan Nasional. Badan Litbang Koperasi Departemen Koperasi Dan UKM. Jakarta.

Soetrisno Noer, (1992). Mekamisme pasar gabah beras dan Permasalahan yang dihadapi Koperasi dalam mendukung program Pengadaan Pangan Stok
Nasional. Badan Litabang Koperasi UKM, Departemen Koperasi dan UKM. Jakarta.

Safuan, (1994). Kajian Efektifitas Pola Pemasaran Beras di Indonesia.