Oleh : Jannes Situmorang
Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian
nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. Koperasi dan UKM belum mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank yang masih terbatas. Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi. Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai lembaga keuangan alternatif.
2. Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan berikut:
1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan
bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
3. Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan
peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan
kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan
sebagai lembaga keuangan alternatif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI). Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan alternatif? Ada yang berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang menggunakan sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan bukan sistem bagi
hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada kedekatan dan orientasi pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil. Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu :Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwilmenjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah.
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c).sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro.
Kelemahannya adalah :
a). skala usaha kecil,
b). Permodalan terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan,
b).standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalm penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.
3. Pola Tabungan dan Pembiayaan
1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau
badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai
berikut:
(1). Tabungan persiapan qurban;
(2). Tabungan pendidikan;
(3).Tabungan persiapan untuk nikah;
(4). Tabungan persiapan untuk melahirkan;
(5). Tabungan naik haji/umroh;
(6). Simpanan berjangka/deposito;
(7).Simpanan khusus untuk kelahiran;
(8). Simpanan sukarela;
(9). Simpanan haritua;
(10). Simpanan aqiqoh.
2). Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT
dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
• Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
• Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill
selama proyek berlangsung.
• Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
• Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
• Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
• Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
• Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
• Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
• Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
• Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial
dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya.
4. Pembentukan BMT
Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :
1) memajukan kesejahteraan anggota dan masyarakat umum,
2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil dengan pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut:
Pertama, para pendiri minimum 20 orang. Para pendiri menghubungi PINBUK
setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon
pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga,mempersiapkan modal awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat,jika bermaksud menjadi koperasi, BMT dapat segera mengajukan permohonan badan hukum koperasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap
sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat setempat
yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain berminat membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan formal,
pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang yang terdiri
dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3 orang
yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian administrasi/keuangan dan
bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan mencari
anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi
profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain: arisan,
simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan lain-lain.
Sumber : Kajian Balitbangkop, PMK dan Pinbuk (1998)
5. Pembiakan BMT
BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri, membentuk pengurus dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.
III. METODE KAJIAN
1. Lokasi dan Objek Kajian
Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2. Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3. Penarikan Sampel
BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi
dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.
4. Model Analisis.
Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam
bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya.
1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif
Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2).Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7).Sarana Usaha.
2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN
Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan
Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili faktor-faktor berikut:
(A). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT,
(B). Tingkat kemandirian,
(C). Keaktifan pengurus BMT, dan
(D). Kualitas pengelola.
(A). Peran Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT
Proses pendirian BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi tetapi yang lebih penting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariah yang diyakini para pendirinya dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan masa depan keberadaan BMT. Peranan tokoh masyarakat sangat dominan dalam pendirian BMT. Peranan para tokoh ini dapat dilihat dari jumlah orang yang mendirikan BMT. Semakin banyak pendiri BMT, diasumsikan semakin sehat BMT yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit pendiri BMT, diasumsikan semakin tidak sehat BMT tersebut. Pendiri dianggap banyak bila
pendirinya lebih dari 20 orang dan dianggap sedikit jika pendirinya kurang dari 20 orang.
(B). Tingkat Kemandirian
Hasil pengamatan lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti
dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama,
pengurus majelis taklim. Para pendiri ini menyediakan modal seadanya,
yakni berkisar antara kurang dari Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta
(C). Keaktifan Pengurus BMT
Secara ideal untuk menilai keaktifan pengurus harus dilakukan
pengamatan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.
Namun, karena hal ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu
dan sumberdaya lainnya maka peneliti menggunakan variabel kehadiran
sebagai pendekatan untuk menjelaskan keaktifan pengurus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pengurus yakni ketua,
sekretaris dan bendahara relative baik.
(D). Kualitas Pengelola
Pengelola BMT terdiri dari manajer, bagian keuangan, bagian pembiayaan dan penagihan, serta sekretariat. Masing-masing pengelola mempunyai tanggung jawab dan wewenang. Pengelola yang bermutu dapat mempengaruhi kinerja kelembagaan BMT. Pengertian mutu pengelola umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan standar kompetensi untuk menjalankan BMT. Pengelola yang berpendidikan lebih tinggi diasumsikan lebih bermutu dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah. Standar kompetensi pengelola BMT
diartikan sebagai kemampuan pengelola menjalankan standar operasi BMT sesuai dengan prinsip Bank Syariah. Pengelola harus memiliki skill/ketrampilan dalam mengelola usaha. Ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan dari PINBUK setempat.
2). Kesehatan Keuangan
Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam, para Pembina BMT. Banyak cara yang dipakai untuk menilai kesehatan keuangan BMT seperti :
(A). Struktur permodalan,
(B). Kualitas aktiva produktif,
(C). Likuiditas,
(D). Rentabilitas,dan
(E). Efisiensi.
(A). Struktur Permodalan
Keberadaan/kesehatan lembaga keuangan sangat tergantung dari kepercayaan nasabah/masyarakat, karena itu kepercayaan adalah segalagalanya bagi lembaga keuangan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui dan menghitung kesehatan struktur permodalan BMT yaitu menghitung rasio antara Modal dan Simpanan yang dirumuskan sebagi berikut:
Rumus 1 : Struktur Permodalan
Struktur modal = Modal : Simpanan
Bila : < 5 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 15 % adalah kurang sehat
16 % - 25 % adalah sehat
> 25 % adalah sangat sehat
Modal adalah seluruh nilai simpanan pokok khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, penyertaan, hibah, cadangan, laba/rugi.Simpanan adalah seluruh nilai simpanan sukarela, (misalnya simpanan mudhrobah, Idul Fitri, pendidikan dsb termasuk untung kepada pihak ketiga)
(B). Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Kredit yang dikeluarkan harus disalurkan pada orang/nasabah yang
tepat. Tepat berarti tepat jumlah dan waktu, tepat orang, tepat
penggunaan, dan tepat pengembaliannya sehingga tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Kualitas aktiva produktif diartikan sebagai
sejumlah pembiayaan yang dapat menghasilkan pendapatan/bagi hasil
dengan sedikit mungkin menimbulkan kredit macet. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persyaratan jaminan hanya diberikan kepada
peminjam skala besar. Jaminan itu berupa sertifikat tanah, BPKB,
barang atau akte/surat-surat berharga lain.
Rumus 2 : Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Penentuan kinerja BMT dalam pencapaian kualita aktiva produktif dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Kredit jatuh tempo (bermasalah)
KAP = ------------------------------------------------
Total pembiayaan
Bila : > 10 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 10 % adalah kurang sehat
3 % - 5 % adalah sehat
> 3 % adalah sangat sehat
(C). Likuiditas
Tersedianya secara cukup dana kas dan bank (aktiva yang paling likuid) yang dapat diuangkan sewaktu-waktu menjadi jaminan kesehatan likuiditas bagi BMT yang bersangkutan. Tersedianya dana likuid juga memberikan rasa aman bagi penabung/nasabah. BMT yang sehat dan likuid adalah BMT yang mampu menjaga tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar. Bila dana kas danbanknya terlalu kecil bisa disebut BMT yang illikuid, sementara yang terlalu besar dana likuiditasnya bisa dikategorikan sebagai BMT yang memegang dana yang idle (menganggur). BMT yang illikuid akan menimbulkan penurunan kepercayaan dari masyarakat, sementara bagi BMT yang banyak idle memberi dampak pada tingginya cost of fund, karena selama uang itu menganggur, BMT harus membayar bagi hasil kepada si penyimpan. Adapun rumus untuk menentukan apakah BMT memenuhi kesehatan likuiditas adalah sebagai berikut.
Rumus 3 : Likuiditas
PINBUK menyarankan agar BMT dapaa mempertahankan dana lancer (likuid) yang dianggap aman berkisar 10% - 20%. Pengalaman di lapang menunjukkan, umumnya BMT menyediakan dana kas yang dianggap aman sebesar 25% -30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 11% BMT yang sngat tidak likuid, 17% kurang likuid, 25% likuid tinggi dan 47% sangat tinggi likuiditasnya.
Total pembiayaan
Likuiditas = ------------------------------------
Total dana diterima
Bila : > 94 %, adalah sangat tidak likuid
> 90 % - 94 % adalah kurang likuid
> 75 % - 90 % adalah likuid
> 75 % adalah sangat likuid
(D). Rentabilitas
Rentabilitas dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan rentabilitas adalah sebagai berikut.
Rumus 4 : Rentabilitas
Dari sejumlah BMT sampel yang diteliti, 14% BMT sangat rendah
rentabilitasnya, 73% sangat tinggi, 10% tinggi dan 3% kurang.
(E). Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu. Biaya operasional meliputi biaya bagi hasil simpnan, overhead cost seperti listrik, karyawan, telepon, biaya penagihan dll. Pendapatan operasional terdiri dari pendapatan bagi hasil, mark up dan hasil kegiatan pendanaan suatu usaha nasabah.Efisiensi usaha BMT dapat diukur dengan menghitung rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Jika rasionya >1 berarti BMT mengalami kerugian dan bila <1 berarti BMT mendapat keuntungan.
Rumus 5 : Efisiensi
Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT masih kurang efisien dalam mengelola usahanya. BMT sampel mengalami
Laba (surplus)
Rentabilitas = ------------------------------------
Total harta
Bila : > 1 %, rentabilitasnya sangat rendah
> 1 % - 1,9 % rentabilitasnya kurang
> 2 % - 3 % rentabilitasnya tinggi
> 3 % rentabilitasnya sangat tinggi
Biaya operasional
Efisiensi = ------------------------------------
Pendapatan operasional
Bila : > 90 %, efesiensi sangat rendah
> 76 % - 90 % kurang efisien
> 60 % - 75 % efisiensinya tinggi
> 60 % efisiensinya sangat tinggi
kerugian karena terbebani biaya lain yang cukup besar yaitu social cost (biaya perkumpulan) yang tidak ada kaitannya dengan kegiatn BMT secara langsung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi
dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para
nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah
Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah
kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah
yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu
dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan
karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi
hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )
8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan,
kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat,
sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.
2. Saran
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta.
Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT.PINBUK, Jakarta.
Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta.
Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Alternatif. Jakarta.
Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta.
Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas.
Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.
Majalah PINBUK.
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_8_%20Jurnal_lembaga_keuangan_alt.pdf